Senin, 12 Mei 2014

Hakikat Bahasa Sebagai Dasar Filsuf Teori Bahasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perhatian filsafat terhadap bahasa yang merupakan paradigma teori-teori bahasa sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Sebagaimana diketahui Herakleitos telah mengembangkan pemikiran bahwa “kata” (logos) menurutnya bukan semata-mata gejala antropologis melainkan mengandung kebenaran kosmis yang universal. Demikian pula bilamana sebelum Herakleitos ‘kata’ seringkali dipandang sebagai memiliki makna magis, namun Herakleitos mengembangkannya sebagai fungsi semantic dan simbolis. Dalam pengertian inilah dalam zaman Yunani kuno filsafat bahasa telah mendapat perhatian para filsuf. Demikian juga filsuf besar dunia Plato telah mengembangkan pemikiran filsafat bahasa. Dia telah membahas tentang hakikat bahasa, dia menyatakan bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan ‘onoma’ dan ‘rhemata’ yang merupakan cermin dari ide seseorang melalui arus ujaran. Demikian juga pada saat itu telah berkembang pemikiran spekulatif tentang hakikat bahasa sebagai ‘analogi’ dan ‘anomali’. Ungkapan-ungkapan metafisik juga telah dikembangkan oleh para filsuf sebagai upaya untuk menguak hakikat bahasa, antara lain Schleiermecher, Dilthey, Heidegger maupun Gadamer. Dalam makalah ini akan memuat tentang hakikat bahasa sebagai dasar filsuf teori bahasa. B. Rumusan Masalah A. Bahasa sebagai subtansi. B. Bahasa sebagai substansi ekspresi. C. Bahasa sebagai substansi isi. D. Bahasa sebagai bentuk. E. Bahasa sebagai bentuk isi. F. Bahasa sebagai bentuk ekspresi. G. Bahasa sebagai isi dan ekspresi. H. Bahasa sebagai substansi dan bentuk. C. Tujuan Masalah A. Untuk mengetahui bahasa sebagai subtansi. B. Untuk mengetahui bahasa sebagai substansi ekspresi. C. Untuk mengetahui bahasa sebagai subtansi isi. D. Untuk mengetahui bahasa sebagai bentuk. E. Untuk mengettahui bahasa sebagai bentuk isi. F. Untuk mengetahui bahasa sebagai bentuk ekspresi. G. Untuk mengetahui bahasa sebagai isi dan ekspresi. H. Untuk mengetahui bahasa sebagai substansi dan bentuk. BAB II PEMBAHASAN A. Bahasa Sebagai Subtansi Problema filosofis tentang hakikat bahasa telah muncul sejak zaman Yunani yaitu dengan munculnya pandangan dikotomis antara ‘fisei’ dan ‘nomos’. Kaum fisei berpandangan bahwa hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki hubungan dengan asal usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi, sehingga dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologism tidak dibentuk oleh manusia namun oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah. Kaum nomos yang dikenal dengan kaum ‘konvensionalis’ menyatakan bahwa hakikat bahasa adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat, maka secara ontologis substansi bahasa itu ada karena diciptakan oleh masyarakat, atau ditentukan oleh tradisi dalam masyarakat. Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan antara: 1. Substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun lambang-lambang. Maka sistem fonem yang mengacu pada sesuatu adalah merupakan substansibahasa adalam pengertian yang pertama ini. Substansi bahasa dalam pengertian yang pertama ini sebagai dasar pengembangan di bidang fonologi. 2. Substansi bahasa merupakan acuan dari bahasa, atau suatu substansi yang merupakan pertanda, yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Untuk memepermudah pemahaman hakikat substansi bahasa pada linguistik modern, maka perlu dipahami konsep hakikat struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure. Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure bercirikan adanya hubungan yang erat antara: 1. Significant, yaitu gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya. 2. Signifie, yaitu gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar. 3. Form, yaitu kaidah abstrak yang mengatur hubungan butir-butir abstrkasi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi. 4. Substance, yaitu perwujudan bunyi khas manusia (Saussure, 1916:11-16). Substansi bahasa dalam pengertian yang pertama adalah berkaitan dengan substance yaitu merupakan perwujudan bunyi ujaran khas manusia dan dalam pengembangan teori-teori bahasa dibahas dalam bidang fonologi, yaitu yang membahas sistem bunyi ujaran dalam bahasa. B. Bahasa sebagai Substansi – Ekspresi Teori bahasa modern lazimnya meletakkan dasar-dasar analisis bahasa pada substansi-ekspresi sebagai dasar ontologisnya. Unsur-unsur substansi-ekspresi ini sebagai aspek kuantitas bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia, yang merupakan ekspresi dari pikiran, perasaan serta emosi manusia. Dasar-dasar inilah yang merupakan sumber epistemologis pengembangan ilmu bahasa terutama dalam bidang teori bunyi bahasa yaitu fonologi. Bahkan pada tingkatan tertentu meletakkan substansi sistem tanda bahasa ini sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, sehingga banyak teori bahasa yang mengembangkan bahasa berdasarkan pada teori fonetik. Teori ini menganggap bahwa bahasa timbul baik ditinjau dari segi gejala fisik yaitu berkaitan dengan fonetik akustik, seagaimana yang dikembangkan oleh Fant, Zwirner, Ladefoged, Kaizer dan tokoh-tokoh lainnya. Demikian juga substansi-ekspresi ini juga ditinjau dari aspek fisiologi, yaitu bagaimana terjadinya bunyi ujaran atau sering disebut fonetik artikulasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Jones, Straka, Fouche, Victor dan tokoh lainnya. Beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa bunyi dari suatu ungkapan atau ekspresi adalah merupakan dasar suatu bahasa, sehingga mereka membuat suatu deskripsi yang mendalam tentang sistem bunyi tersebut. Demikianlah hakikat substansi bahasa sebagai substansi ekspresi yang pada intinya bawa substansi bahasa yang merupakan sistem bunyi merupakan dasar ontologis utama bagi deskripsi bahasa. Hal ini memang merupakn pengembangan lebih lanjut dari ilmu bahasamodern yang mendasarkan pada substansi empiris bahasa yang berupa sistem bunyi ujaran yang hakikatnya dapat diindra oleh manusia. C. Bahasa sebagai Substansi – Isi Teori-teori modern tentang bahasa lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Tapi sampai sekarang ternyata orang masih beranggapan bahwa kata dan benda adalah sama. Kata yang merupakan bagian terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsur sistem tanda. Kata adalah merupakan penanda dari suatu relitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu sendiri, menurut istilah Saussure harus dibedakan antara significant sebagai ekspresi lewat sistem lambang dengan signifie yang merupakan aspek semantik lambang yang berkaitan dengan sesuatu acuan baik berupa benda, binatang, manusia, nilai maupun konsep. Sistem relasional antara aspek substansi bahasa tersebut yang merupakan suatu substansi-isi. Oleh karena itu teori bahasa modern membedakan kedua aspek tersebut dalam sistem lambang bahasa melayu (Mackey, 1984:23). Berlawanan dengan konsep bahasa modern, menurut paham tradisionalisme secara ontologis hakikat bahasa bukanlah substansi-isi. Menurut paham tradisonalisem bahwa ontologis pikiran menentukan sistem lambang bahasa, sehingga menurut tradisionalisme kata-kata memiliki kesepadanan dalam pikiran. Makna kata-kata atau ungkapan bahasa pada hakikatnya berasal dari konsep mental manusia yang menyeluruh, sehingga sistem bahasa ditentukan oleh sistem kaidah pikiran. Sehingga sistem ilmu bahasa logis mendasarkan pada analisis bahasa yang menekankan pada isi-substansi. Akibatnya deskripsi sistem bunyi ujaran bahasa tidak didasarkan pada struktur sistem bunyi ujaran secara empiris melainkan merupakan suatu pemaparan ejaan bahasa sehingga tidak mendasarkan pada analisis bahasa secara empiris. Walaupun telah berkembang ilmu bahasa modern yang ditandai oleh konsep bahasa menurut pandangan struktualisme, namun banyak paham-paham ilmu bahasa sampai abad XX masih mengangkat dasar-dasar tradisonalisme dalam sistem analisis bahasa. Hal ini dikarenakan sifat bahasa yang dinamis sehingga konsekuensinya sulit menghilangkan ciri tradisionalisme. D. Bahasa sebagai Bentuk Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu subtansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Demikian juga bahasa bukanlah merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui bunyi ujaran bahasa. Pemikiran ini dikembangkan oleh paham strukturalisme yang ekstrem antara lain strukturalisme bahasa yang berkembang di Amerika di bawah Bloomfield dan aliran glossematik yang sebenarnya keduanya berakar pada konsep pemikiran Ferdinand de Saussure. Walapun Saussure sebagai tokoh pelopr dan peletak dasar aliran strukturalisme pada ilmu bahasa modern, namun Saussure tidak hanya mendasarkan bahwa bahasa pada hakikatnya hanya sebagai bentuk saja. Saussure mengungkapkan konsepnya tentang bahasa juga mengakui tentang significant, yaitu bentuk ujaran lewat lambang, serta signifie yaitu semantic lambang yang menunjukkan pada acuannya. Oleh karena itu pengertian bahasa sebagai bentuk meliputi tiga hal yaitu: 1. Bentuk-isi yang meliputi klasifikasi tentang pikiran dan benda-benda. 2. Bentuk-ekspresi yaitu yang menyangkut tentang pengelompokan yang abstrak atau bayangan bunyi dan bentuk-bentuk bahasa. 3. Isi dan ekspresi yaitu meliputi pembentukan dari keduanya yaitu apa yang kita bicarakan dan bagaimana kita menbicarakannya. Ketiga hal yang berkaitan dengan dasar-dasar bentuk – isi bahasa tersebut sangat banyak memberikan warna pada teori-teori bahasa modern baik pada segi epistemologisnya maupun pada segi aksiologisnya yang pada gilirannya mendasari analisis bahasa. E. Bahasa sebagai Bentuk – Isi Konsep pemikiran ini mendasarkan pada suatu pengertian bahwa bahasa adalah sebagai bentuk simbolis yang berdiri sendiri. Bahasa menurut paham ini dianggap semata-mata sebagai hasil penyusunan pemikiran manusia. Menurut paham ini bahasa dipandangnya sebagai bentuk mental yang berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-bentuk simbolis yang lainnya seperti insting dan pikiran ilmiah. Teori ini lebih menekankan pada bentuk mental dan bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti empiris yang dapat disentuh dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih menekankan pada keterpisahan bentuk mental bahasa dari aspek-aspek yang lainnya. Oleh karena secara ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh hakikat bahasa sebagai bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang berupa bunyi ujaran bahasa ditentukan oleh bentuk mental bahasa. Konsekuansinya struktur empiris bahasa yang berupa eksistensi bunyi ujaran bahasa tidak mendapat tempat, sehingga pengembangan pada teori-teori bahasa akan menghadapi kesulitan besar yaitu substansi empiris bahasa sulit dikembangkan secara sistematis. Pemikiran bahasa semacam ini sangat lemah dalam menentukan dasar epistemology teori bahasa, sehingga analisis bahasa juga akan menghadapi kesulitan dalam menentukan justifikasi kebenaran sebagai dasar pijak teori bahasa. Pemikiran ini antara lain dikembangkan oleh Cassirer, yang lebih menekankan fungsi kultural bahasa bagi manusia dan bukannya mengembangkan teori bahasa dalam membangun suatu ilmu bahasa yang kokoh. Cassier lebih menekankan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia untuk lebih mewujudkan hakikat manusia, agar menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Sehingga deskripsi Cassier lebih diarahkan pada fungsi bahasa dalam seni sastra, dan budaya untuk mengungkap nilai-nilai kemanusiaan (Mickey, 1965:12). F. Bahasa sebagai Bentuk – Ekspresi Hakikat bahasa yang menekankan pada segi bentuk-ekspresi ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut strukturlisme yang radikal, dalam arti mereka ingin membangun bahasa di atas substansi yang bersifat empiris. Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa secara ontologis berdasarkan realitas empiris dari bahasa, terutama adalah berkaitan dengan struktur empiris bahasa, yang merupakan sistem yang menyeluruh dan dapat berdiri sendiri. Pemikiran ini dikembangkan oleh seorang ahli dibidang ilmu bahasa dari Amerika yaitu Leonard Bloomfield. Ia memulai teorinya dengan mendasarkan pada pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah merupakan suatu realitas struktural empiris yang merupakan penuangan ekspresi manusia. Namun demikian menurut kalangan structural empiris bahwa hakikat structural empiris bahasa itu adalah berdiri sendiri terpisah dengan unsur-unsur lainnya. Konsekuensi pandangan ontologis ini teori bahasa mendahulukan analisis structural empiris sebagai dasar epistemologis ilmu bahasa. Bahasa harus dapat dinyatakan secara sistematis dan empiris untuk menemukan suatu kebenaran yang objektif. Oleh karena bahasa secara structural harus dapat dinyatakan secara fisik mka analisis bunyi-bunyi ujaran bahasa menempati prioritas utama, karena bunyi-bunyi bahasa merupakan fenomena yang dapat diamati secara langsung. Bahasa pada hakikatnya terdiri atas urutan-urutan morfem yang juga terdiri atas urutan-urutan fonem, walaupin pada level yang berbeda. Menurut Bloomfield fonem-fonem itu dapat didefinisikan secara fisik (Alwasilah, 1985:47). Kaum strukturalis terutama Bloomfield dalam mengembangkan teorinya dia menyingkirkan unsur pikiran, mental, benda maupun nilai dari hakikat realitas bahasa. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa bahasa tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah ilmu jiwa, fisiologi maupun aksiologi. Bahasa pada hakikatnya adalah “bentuk-isi”, hal ini berarti bahwa realitas bahasa adalah struktur empiris yang dapat diamati oleh indra manusia, baru struktur menentukan makna bahasa yang merupakan ekspresi. Arti menurut kaum strukturalis tidak dapat dianalisis haruslah merupakan suatu kebenaran yang mempunyai pengertian (makna), adapun kebenaran digunakan dalam arti pragmatis. Kaum strukturalis melakukan analisis bahasa berdasarkan strukturnya (bentuknya) dan bukan berdasarkan arti. Oleh karena itu, menurut kaum strukturalis yang mendasarkan hakikat bahasa atas bentuk ekspresi, memisahkan masalah semantic atau arti yang terkandung dalam bahasa pada bidang-bidang ilmu lain seperti antropologi, masalah struktur mental kepada psikologi, masal fonetik pada fisika dan bidang ilmu lainnya seperti filsafat dan logika. Akan tetapi sebagaimana dipahami bahwa bidang-bidang ilmu tersebut tidak memberikan tempat atau caban yang berkaitan dengan objek material bahasa sehingga mau tidak mau linguistic harus memberikan tempat untuk mengembangkannya, karean ilmu harus mampu memberikan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang berkaitan dengan bahasa (Mackey, 1965:25). Kompetensi ilmu untuk mengembangkan bidangnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar pada makna bahasa kemudian timbullah berbagi macam ilmu antardisipliner dengan bahasa, antara lain dengan psikologi berkembanglah Psikolinguistik, dengan filsafat berkembanglah filsafat bahasa, dengan sosiologi maka berkembanglah sosiolinguistik dan banyak bidang-bidang lainnya yang kemudisn berkembang bersama dengan ilmu bahasa. Teori lain yang menentukan hakikat bahasa adalah bentuk ekspresi adalah teori Carnap tentang sintaksis logis. Jika strukturalisme terutama Bloomfield membahas bentuk ucapan bahasa ilmiah, maka Carnap membicarakan bentuk bahasa tulis dari segala bahasa, terutama bahasa isoteris yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan terutama logika dan matematika demi pengembangan ilmu dalam bidangnya masing-masing. Berdasarkan pemikiran bahwa bahasa sebagai bentuk-ekspresi yang ketat dengan hukum-hukum logika maka tidak mengehrankan jikalau teori tersebut kurang mendapat sambutan yang positif di kalangan ahli ilmu bahasa. G. Bahasa sebagai Isi dan Ekspresi Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan isi dan ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pada pandangan ontologis tersebut berakar pada linguistik structural Saussure, walaupun kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran yang mendasarkan hakikat isi dan ekspresi pada bahasa. Sebagaimana diketahui konsep linguistik structural Saussure membedakan atas kode atau system (langue) dari pemakaian dalam pembicaraan (parole). Menurut Sausssure objek linguistic adalah studi tentang kode (langue) yang sesungguhnya merupakan aspek yang meliputi “yang ditandai” (signified) dan “penanda” (signifier), dan bukannya substansi. Bentuk pikiran dan bentuk bunyi tidak berhubungan dengan linguistic. Bahasa (langue) tidak terdiri atas ide ataupun bunyi, melainkan perbedaan-perbedaan konsep dan suara. Substansi isi dan substansi ekspresi betul-betul bersifat arbitrer, demikian juga antara keadaan yang sesungguhnya atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan syarat-syarat atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut. Suatu kekhususan pada teori Saussure adalah peleburan dari konsep linguistic yang ditandai (signified) dengan bayangan akustik dari bunyi yaitu penanda (signifier). Signified tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh bahasa dari peristiwa-peristiwa tentang keadaan yang sesungguhnya. Signifier meliputi bayangan akustik dari bunyi bahasanya. Tidak satupun dari signified maupun signifier yang meliputi sifat-sifat seperti halnya dimiliki oleh bunyi ucapan atau suatu kejdian. Suatu hal yang relevan antara signified dan signifier adalah adanya kenyataan bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikacaukan oleh tanda yang lain. Keistimewaan suatu tanda adalah apa yang ada pada tanda itu tidak terdapat pada tanda yang lain. Perbedaan-perbedaan pada tanda inilah yang merupakan objek material pembahasan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hamper seluruhnya terbentuk dari perbedaan-perbedaan itu. Satu-satunya kenyataan positif adalah adanya gabungan dari perbedaan-perbedaan tersebut dan hal itu merupakan kenyataan satu-satunya yang terdapat dalam bahasa. Nilai apapun yang dimiliki oleh suatu tanda terletak pada perbedaan terhadap tanda-tanda yang lain (Saussure. 1916:73-80). Walaupun teori ini tampaknya lebih komperhensif dibandingkan teori Bloomfield, namun keduanya memiliki suatu persamaan yaitu keduanya memiliki pandangan ontologis yang sama. Kedua teori tersebut menganggap bahwa bahasa pada hakikatnya bukanlah suatu substansi, selain itu keduanya juga mencari perbedaan-perbedaan formal yang merupakan ciri utama suatu bahasa. Bloomfield menyatakan dengan tegas bahwa masing-masing fonem berbeda dari fonem yang lain. Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dipahami karean kedua paham tersebut berakar dari suatu pandangan filosofis yang sama yaitu strukturalisme. Baik Saussure maupun Bloomfield memiliki kesamaan pendirrian bahwa pola penyusunan bahasa bersifat arbiter. Perbedaan pokok kedua teori tersebut adalah tentang letak isi bahasa, Bloomfield meletakkannya di luar bidang linguistic, karena arti hanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang objek materialnya tentang sesuatu yang belum diketahui. Menurut Saussure ekspresi tidak mungkin untuk dianalisis terpisah tanpa memperhatikan isinya. Isi bahasa tidak mungkin dipisahkan dengan ekspresi bahasa karena linguistic mempelajari keduanya. Suatu teori yang berakar pada pemikiran Saussure adalah paham glossematik. Sasaran pembahasan paham glossmatik adalah studi tentang bentuk, sedangkan ilmu yang lain mengenai substansi itu sendiri. Paham ini menganggap bahwa bahasa pada hakikatnya sebagai bentuk, bukan sebagai substansi yang terdiri atas benda-benda lain yang merupakan acuan makna bahasa tetapi terdiri atas hubungan-hubungan. Jadi menurut glossematik bahwa bahasa dapat dinyatakan adanya hubungan-hubungan antara unit-unit yang relevan, sehingga tidak termasuk di dalamnya sesuatu yang menyangkut substansi unit-unit tadi. Bunyi yang sesungguhya yaitu ekspresi-substansi dan benda-benda yang merupakan acuannya yaitu substansi-isi tidak selaras dengan system bahasa dan bisa ditukar dengan mengubah bahasa. Berbeda dengan teori Bloomfield teori glossematik meliputi studi tentang bentuk pada kedua arah ekspresi-isi dan menekankaan pada hubungan di antara keduanya (Mackeyy. 1965:28). H. Bahasa sebagai Substansi dan Bentuk Sejumlah aliran dalam filsafat bahasa mengemukakan pandangan-pandangan ontologisnya tentang hakikat bahasa. Cassirer misalnya menyatakan bahwa manusia adalah makhluk simbolis, makhluk yang senantiasa menggunakan simbol-simbol, maka ia tiba pada suatu pandangan ontologisnya bahwa bahasa pada hakikatnya adalah merupakan brntuk simbol-simbol yang merupakan hasil penyusunan pikiran manusia. Bahasa adalah merupakan suatu bentuk mental yang berdiri sendiri terpisah dari bentuk simbol-simbol yang lain. Dengan demikian pandangan filosofis semacam ini tidak memberikan tempat bagi hakikat empiris bahasa yang berupa sistem bunyi ujaran yang dapat diserap dengan indra manusia. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Bloomfield berpendapat bahwa hakikat bahasa secara ontologis merupakan realitas empiris. Bahasa merupakan system symbol yang bersifat empiris yang bediri sendiri terpisah dari aspek-aspek non empiris. Bahasa memiliki suatu keterampilan yang secara empiris dapat ditentukan kebenarannya berdasarkan analisisnya yang bersifat empiris. Kaum strukturalisme tidak mengakui realitas metafisis bahasaa. Makna ditentukan oleh struktur empiris seperti benda-benda, alam semesta, konsep-konsep maupun nilainyang berada di luar struktur empiris bahasa. Secara epistemologis hakikat makna yan menyangkut realitas dunia yang berada di luar realitas struktur bahasa merupakan bidang kajian ilmu-ilmu pengetahuan yang lainnya dan tidak memilii sangkut paut dengan ilmu bahasa. Pandangan filsafat yang lain di bidang bahasa memiliki konsep yang berbeda dengan kedua paham di atas. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu substansi, baik substansi yang bersifat empiris misalnya bahasa pada hakikatnya tersusun atas sesuatu yang dapat diindra. Dalam pengertian ini substansi bahasa berkaitan dengan dua aspek yaitu substansi benda-benda, atau realitas dunia empiris dan susbtansi system lambang yang digunakan untuk mengungkapkan bahasa, yaitu suara yang kita ucapkan atau lambang-lambang yang kita gunakan. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut maka terdapat dua kelompok paham secara filosofis berbeda yaitu hakikat bahasa yang hanya dipandang sebagai substansi saja dan hakikat bahasa yang hanya dipandang sebagai bentuk atau struktur saja. Kedua pandangan tersebut dengan sendirinya memiliki konsekuensi epistemologis yang berbeda pula, dan pada gilirannya system analisis dan dasar kebenaran dalam ilmu bahasa juga akan berbeda, sesuai dengan pandangan ontologis masing-masing. Sementara terdapat dua kelompok paham dalam filsafat bahasa yang memiliki pandangan ontologis yang berlawanan terhadap sejumlah teori yang mendasarkan pada pandangan ontologis yang merupakan sintesa antara substansi dan bentuk. Bahasa pada hakikatnya bukan hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal ini dapat dianalisiss dalam tiga aspek substansi dan bentuk bahasa: 1. Substansi isi bahasa yaitu berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut tentang benda dan pengalaman tentang benda-benda tersebut serta pikiran-pikiran dari penutur bahasa. 2. Substansi ekspresi bahasa yaitu yang kita gunakan untuk membicarakan pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan seperti benda-benda seta pengalaman tentang benda-benda tersebut. 3. Substansi isi dan ekspresi yaitu apa yang dibicarakan dan alat-alat yang digunakan untuk membicarakan tersebut. BAB III PENUTUP A. Simpulan Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan antara (1) substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun lambang-lambang. (2) substansi bahasa yang merupakan acuan dari bahasa, atau suatu substansi bahasa yang merupakan petanda, yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu subtansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. Hidayat, Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kaelan. 2013. Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma.

Senin, 05 Mei 2014

Bahan Belajar Audiovisual Untuk Belajar Mandiri

Example of Explaining Graph

The exchange rate on transaction from Malaysian Ringgit to Indonesian Rupiah from October 31st until November 13th underwent not too significant gradual rise.
Details:
1.                  The first day, on October 31st, the value of 1 MYR to IDR stood at the position of IDR 3,580.
2.                  Afterwards, on November 4th, there was a slight increase to the level of IDR 3,610.
3.                  A slight decrease appeared on the next date, November 7th, to the value of IDR 3,600.
4.                  The next date, November 11th, the same value as the previous date, also happened, that is, IDR 3,610.
5.                  Last, the value grew up to the position of IDR 3,650.


Note: The focus of this graph explanation:
a.                   Saying dates
b.                  Saying numbers (money)
c.                   Using past tense
d.                  Making a sequence of events (first, the following date, afterwards, etc)
e.                   Using appropriate verbs for up, down, and stagnant value of exchange rates.


Rise (V/N)
Rise rose risen








Exchange Rates on Transaction


Currency
Rate     (buying rate and selling rate)

Elvi’s birth date
April 24th, 1994.

Two ways:
a.                   The twenty fourth of April, 1994.
b.                  April twenty fourth, 1994.


1,000 Rupiahs

Rise Rose Risen

The airport tax for domestic flight rises 10%.
The soldiers raise the red-white flag in the country border.





Ordinal number
1 first 1st
Second 2nd
Third 3rd
4-20 th twentieth 20th
21--------
Twenty first (21st)
25th
30th
31st
Seventy third 73rd

Data Positif Empiris dan Logika Induksi


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang masalah
Auguste Comte atau yang sering disebut sebagai bapak sosiologi merupakan salah satu pencetus teori sosiologi klasik. Comte dijuluki sebagai bapak sosiologi karena dia adalah orang pertama yang mencetuskan sosiologi atau yang dulu disebut sebagai fisika sosial. Di mana menurutnya, sosiologi harus dikaji secara ilmiah.
Comte merupakan salah satu penganut hukum positivisme. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, di mana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Untuk itu, kami akan membahas tentang data positif empiris Aguste Comte yang dimuat dalam makalah ini.

B.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana data postif empiris Aguste Comte?
2.      Bagaimana hokum tiga tahap Aguste Comte?
3.      Bagaimana logika induksi John s.Mill?
4.      Apa saja pembagian logika induksi John s.Mill?
5.      Bagaimana logika induksi menurut perspektif Islam?


   1
                                             



C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui data positif empiris Aguste Comte.
2.      Untuk mengetahui hokum tiga tahap Aguste Comte.
3.      Untuk mengetahui logika induksi John s.Mill.
4.      Untuk mengetahui pembagian logika induksi John s.Mill.
5.      Untuk mwngwtahui logika induksi menurut perspektif Islam.
           




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Data Postif Empiris Aguste Comte
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industry).
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya The Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala.[1]
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
 3
 
1.      Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2.      Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3.      Metode ini berusaha ke arah kepastian
4.      Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.[2]

B.     Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.[3]
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris. Sehingga dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans secara terlibat ataupun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
                                                                                                                                          
1. Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
2. Tahap Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.[4]
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain suatu masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme atau kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).
B.    John Stuart Mill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika.[5]Satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu Induksi mewujudkan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya, yang menuju kepada pengenalan.
Menurut Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. Di sini, pandangannya berbeda dengan Comte. Tugas psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem indrawi manusia dan hubungan-hubungannya. Mill berpendapat bahwa satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi menjadi jalan kepada pengenalan.
Di dalam etika, Mill melihat hubungan timbal-balik antara manusia secara pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip utilitarianisme. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi dirinya sendiri secara psikologis, bukan orang lain atau nilai-nilai. Dia adalah seorang pendukung Utilitarianisme, sebuah teori etika yang dikembangkan oleh filsuf Jeremy Bentham.

C.    Logika Induksi
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan. Pengetahuan khusus ini dapat juga tercapai berulangkali dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlaku umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang umum itu disebut Induksi.
Secara sederhana, logika induksi merupakan logika yang digunakan untuk sampai pada pernyataan yang universal dari hal-hal yang bersifat individual. Kesimpulan ditarik dari hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan yang bersifat umum. Tidak seperti logika deduktif, dalam logika induksi, kerja akal atau fikiran beranjak dari pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat spesifik, khusus, individual, dan nyata yang ditemukan oleh pengalaman inderawi kita. Ia berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari berbagai kenyataan tersebut disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih umum. Jadi, generalisasi dalam logika induksi ini selalu berdasar pada hal-hal yang empiris.[6]
D.    Pembagian Logika Induksi
            Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada dua macam :
a.       Induksi Sempurna
Jika putusan umum itu merupakan penjumlahan dari putusan khusus. Maka Induksi itu sempurna. Misalnya : dari masing-masing mahasiswa pada suatu fakultas, diketahui bahwa ia warga negara Indonesia. Maka dapat diadakan putusan umum : semua mahasiswa fakultas itu warga negara Indonesia.
b.      Induksi Tidak Sempurna
Jika demi Induksi ada putusan umum yang bukan merupakan penjumlahan, melainkan seakan-akan loncatan dari yang khusus kepada yang umum, itulah induksi tidak sempurna.
Induksi tidak sempurna ini ada dua lagi macamnya demi sifat yang dimilikinya dalam kekuatan putusan yang ternyata :
1.      Dalam ilmu alam putusan yang tercapai melalui Induksi tidak sempurna ini berlaku umum, mutlak jadi tidak ada kecualinya. Hukum air mengenai pembekuannya tak mengizinkan pengecualiannya. Tidak ragu-ragu ilmu berani mengamalkan tentang pembekuan air itu. Begitulah mengenai lain-lain hukum alam. Kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa itu hukum alam, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu berlaku dengan pasti. Hukunm alam boleh dikatakan berlaku umum mutlak. Hal yang demikian itu secara filsafat menimbulkan kesulitan, paling sedikit timbullah persoalan : bagaimana orang dapat memastikan bahwa putusan yang diperoleh secara induktif itu sungguh umum, sedangkan pengalamannya hanya berlaku khusus.
2.      Jika ilmu mempunyai objek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia yang sedikit-banyaknya dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi pandangan ilmu, maka lalu lain pula halnya. Ilmunya kami sebut ilmu sosial serta objek penyelidikannya mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia. Oleh karena manusia mempunyai daya memilih dan sebab itu mungkin bertindak atau tidak bertindak, malahan mungkin juga bertindak lain dan tidak dapat dipastikan sebelumnya. Ada juga semacam hukum terdapat pada tindakan-tindakan manusia, tetapi tidaklah mutlak umum. Selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian. Kalau pada prinsipnya hukum alam tidak ada kekecualiannya, hukum-hukum pada ilmu sosial selalu ada kemungkinan kekecualiannya.
Cara befikir dalam logika induksi adalah melalui analogi, yaitu persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Dalam analogi kita mempersamakan dua hal yang sebenarnya tidak sama persis. Analogi membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain. Memang terdapat kritikan terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang disebut kebenaran umum (general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat dari hasil penyelidikan atau metode berpikir induksi.[7]

E.     Logika Indiksi menurut perspektif Islam
 Logika sains meniscayakan dialektika induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Mungkin karena itulah di dalam wacana pemikiran hukum Islam, induksi jarang sekali dibicarakan, sementara deduksilah yang mendominasi pembahasan. Tulisan ini memuat bagaimana deduksi dan induksi bergantian memainkan peranan masing-masing sehingga berkembanglah pemikiran hukum Islam. Tulisan ini menyimpulkan bahwa induksi menghasilkan rumusan-rumusan yang digunakan sebagai landasan deduksi di dalam berbagai tahapan proses penalaran hukum. Induksi lengkap digunakan untuk memastikan teks sumber hukum ilahiyah (wahyu), sedangkan deduksi yang tidak lengkap digunakan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk menghadapi kasus yang tidak diliput oleh sumber hukum wahyu. Induksi tidak lengkap ini menghasilkan rumusan Al-qawa’id Al-fiqhiyah yang fungsinya adalah sebagai landasan deduksi bagi fiqh  baru yang memiliki watak yang sama dengan fiqh yang sudah ada.[8]
Dalam agama Islam, hukum didefinisikan sebagai hukum Tuhan. Tuhan memberikan wahyu berupa Al-Qur’an dan Sunnah (hadis) dengan cara deduktif. Dari kedua sumber itu dihasilkan fiqh atau biasa disebut dengan Hukum Islam. Artinya, pedoman tingkah laku manusia diambilkan dari firman Tuhan, dan hal itu meniscayakan penggunaan deduksi. Walaupun seperti itulah posisi paradigmatis di dalam Islam, tetapi bukan berarti induksi kehilangan tempat berperan. Perkembangan ilmu pengetahuan dipastikan mengandalkan dialektika antara deduksi dan induksi. Dalam hal ini, perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum Islam bukanlah perkecualian.
Jarangnya pembahasan tentang peranan induksi dengan jelas bisa ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di dalam literatur ushul al-fiqh, kata istiqra’ sebagai cara menemukan hukum tidak dikenal. Metode istiqra’ tidak termasuk dalam sebelas adillah shar’iyah atau sumber dan metode hukum yang biasa dibahas. Istiqra’ dalam arti adillah hanya disebut sepintas di dalam sedikit kitab kuno seperti Al-Ibhaj. Tampaknya sifat deduktif dari arus utama pemikiran hukum Islam menyebakan perhatian hanya ditujukan kepada deduksi saja. Dengan pendekatan ilmu logika, yang membagi induksi menjadi induksi lengkap dan induksi tak-lengkap, tulisan ini akan mengisi kelangkaan bacaan mengenai peranan induksi dalam pemikiran hukum Islam. Teori induksi digunakan untuk melihat dan memaknai apa yang telah terjadi di dalam tradisi pemikiran hukum Islam selama ini dan menunjukkan bagaimana penalaran deduktif hukum Islam melibatkan induksi dalam berbagai tingkat kebutuhan secara signifikan. Induksi berperan dalam dua tugas yang bertolak belakang, yaitu pembakuan sekaligus pengembangan dalam tradisi pemikiran hukum Islam.[9]







PENUTUP
A.Simpulan   
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.
Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
1.      Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
2.      Tahap Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3.       Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada dua macam :
A.    Induksi Sempurna
B.    
11
Induksi Tidak Sempurna
Logika sains meniscayakan dialektika induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.
















DAFTAR PUSTAKA

 Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Beerling Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986.
Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir Jakarata: Rineka Cipta, 1992.

P. Hardono, Hadi,  Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,  Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisiona, Bandung: Binacipta, 1988.






[1] Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah., Gramedia Pustaka Utama,, Jakarta, 1987, hal. 101.

[2] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 58.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 , Kanisius,Yogyakarta,  2002,  hal. 110.
[4] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hal. 11.

[5] Beerling Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilm, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986, hal. 53.
[6] Poedjawijatna, Logoka Filsafat Berfikir Rineka Cipta, Jakarata, 1992, hal. 70.
[7] Ibid., hal. 71.
[8]  P. Hardono, Hadi,  Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,  Kanisius, Yogyakarta, 1994.
[9] Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisiona,.Binacipta, Bandung, 1988.