Senin, 12 Mei 2014

Hakikat Bahasa Sebagai Dasar Filsuf Teori Bahasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perhatian filsafat terhadap bahasa yang merupakan paradigma teori-teori bahasa sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani. Sebagaimana diketahui Herakleitos telah mengembangkan pemikiran bahwa “kata” (logos) menurutnya bukan semata-mata gejala antropologis melainkan mengandung kebenaran kosmis yang universal. Demikian pula bilamana sebelum Herakleitos ‘kata’ seringkali dipandang sebagai memiliki makna magis, namun Herakleitos mengembangkannya sebagai fungsi semantic dan simbolis. Dalam pengertian inilah dalam zaman Yunani kuno filsafat bahasa telah mendapat perhatian para filsuf. Demikian juga filsuf besar dunia Plato telah mengembangkan pemikiran filsafat bahasa. Dia telah membahas tentang hakikat bahasa, dia menyatakan bahwa bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan ‘onoma’ dan ‘rhemata’ yang merupakan cermin dari ide seseorang melalui arus ujaran. Demikian juga pada saat itu telah berkembang pemikiran spekulatif tentang hakikat bahasa sebagai ‘analogi’ dan ‘anomali’. Ungkapan-ungkapan metafisik juga telah dikembangkan oleh para filsuf sebagai upaya untuk menguak hakikat bahasa, antara lain Schleiermecher, Dilthey, Heidegger maupun Gadamer. Dalam makalah ini akan memuat tentang hakikat bahasa sebagai dasar filsuf teori bahasa. B. Rumusan Masalah A. Bahasa sebagai subtansi. B. Bahasa sebagai substansi ekspresi. C. Bahasa sebagai substansi isi. D. Bahasa sebagai bentuk. E. Bahasa sebagai bentuk isi. F. Bahasa sebagai bentuk ekspresi. G. Bahasa sebagai isi dan ekspresi. H. Bahasa sebagai substansi dan bentuk. C. Tujuan Masalah A. Untuk mengetahui bahasa sebagai subtansi. B. Untuk mengetahui bahasa sebagai substansi ekspresi. C. Untuk mengetahui bahasa sebagai subtansi isi. D. Untuk mengetahui bahasa sebagai bentuk. E. Untuk mengettahui bahasa sebagai bentuk isi. F. Untuk mengetahui bahasa sebagai bentuk ekspresi. G. Untuk mengetahui bahasa sebagai isi dan ekspresi. H. Untuk mengetahui bahasa sebagai substansi dan bentuk. BAB II PEMBAHASAN A. Bahasa Sebagai Subtansi Problema filosofis tentang hakikat bahasa telah muncul sejak zaman Yunani yaitu dengan munculnya pandangan dikotomis antara ‘fisei’ dan ‘nomos’. Kaum fisei berpandangan bahwa hakikat bahasa adalah bersifat alamiah. Bahasa memiliki hubungan dengan asal usul dan sumber-sumber yang bersifat abadi, sehingga dalam pengertian substansi bahasa adalah sebagai simbol yaitu sistem bunyi yang bersifat empiris dan makna. Substansi bahasa tersebut secara ontologism tidak dibentuk oleh manusia namun oleh alam, atau dengan pengertian lain terjadi secara alamiah. Kaum nomos yang dikenal dengan kaum ‘konvensionalis’ menyatakan bahwa hakikat bahasa adalah makna yang ditentukan oleh masyarakat, maka secara ontologis substansi bahasa itu ada karena diciptakan oleh masyarakat, atau ditentukan oleh tradisi dalam masyarakat. Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan antara: 1. Substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun lambang-lambang. Maka sistem fonem yang mengacu pada sesuatu adalah merupakan substansibahasa adalam pengertian yang pertama ini. Substansi bahasa dalam pengertian yang pertama ini sebagai dasar pengembangan di bidang fonologi. 2. Substansi bahasa merupakan acuan dari bahasa, atau suatu substansi yang merupakan pertanda, yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Untuk memepermudah pemahaman hakikat substansi bahasa pada linguistik modern, maka perlu dipahami konsep hakikat struktur bahasa menurut Ferdinand de Saussure. Bahasa sebagai sistem tanda menurut Saussure bercirikan adanya hubungan yang erat antara: 1. Significant, yaitu gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam kesadaran batin para pemakainya. 2. Signifie, yaitu gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia luar. 3. Form, yaitu kaidah abstrak yang mengatur hubungan butir-butir abstrkasi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk berekspresi. 4. Substance, yaitu perwujudan bunyi khas manusia (Saussure, 1916:11-16). Substansi bahasa dalam pengertian yang pertama adalah berkaitan dengan substance yaitu merupakan perwujudan bunyi ujaran khas manusia dan dalam pengembangan teori-teori bahasa dibahas dalam bidang fonologi, yaitu yang membahas sistem bunyi ujaran dalam bahasa. B. Bahasa sebagai Substansi – Ekspresi Teori bahasa modern lazimnya meletakkan dasar-dasar analisis bahasa pada substansi-ekspresi sebagai dasar ontologisnya. Unsur-unsur substansi-ekspresi ini sebagai aspek kuantitas bahasa yang merupakan sistem bunyi ujaran bahasa manusia, yang merupakan ekspresi dari pikiran, perasaan serta emosi manusia. Dasar-dasar inilah yang merupakan sumber epistemologis pengembangan ilmu bahasa terutama dalam bidang teori bunyi bahasa yaitu fonologi. Bahkan pada tingkatan tertentu meletakkan substansi sistem tanda bahasa ini sebagai sesuatu yang bersifat alamiah, sehingga banyak teori bahasa yang mengembangkan bahasa berdasarkan pada teori fonetik. Teori ini menganggap bahwa bahasa timbul baik ditinjau dari segi gejala fisik yaitu berkaitan dengan fonetik akustik, seagaimana yang dikembangkan oleh Fant, Zwirner, Ladefoged, Kaizer dan tokoh-tokoh lainnya. Demikian juga substansi-ekspresi ini juga ditinjau dari aspek fisiologi, yaitu bagaimana terjadinya bunyi ujaran atau sering disebut fonetik artikulasi sebagaimana yang dikembangkan oleh Jones, Straka, Fouche, Victor dan tokoh lainnya. Beberapa ahli fonetik berpendirian bahwa bunyi dari suatu ungkapan atau ekspresi adalah merupakan dasar suatu bahasa, sehingga mereka membuat suatu deskripsi yang mendalam tentang sistem bunyi tersebut. Demikianlah hakikat substansi bahasa sebagai substansi ekspresi yang pada intinya bawa substansi bahasa yang merupakan sistem bunyi merupakan dasar ontologis utama bagi deskripsi bahasa. Hal ini memang merupakn pengembangan lebih lanjut dari ilmu bahasamodern yang mendasarkan pada substansi empiris bahasa yang berupa sistem bunyi ujaran yang hakikatnya dapat diindra oleh manusia. C. Bahasa sebagai Substansi – Isi Teori-teori modern tentang bahasa lazimnya tidak menyamakan kata dengan benda. Tapi sampai sekarang ternyata orang masih beranggapan bahwa kata dan benda adalah sama. Kata yang merupakan bagian terkecil kalimat adalah merupakan suatu unsur sistem tanda. Kata adalah merupakan penanda dari suatu relitas dunia yang berada di luar sistem tanda itu sendiri, menurut istilah Saussure harus dibedakan antara significant sebagai ekspresi lewat sistem lambang dengan signifie yang merupakan aspek semantik lambang yang berkaitan dengan sesuatu acuan baik berupa benda, binatang, manusia, nilai maupun konsep. Sistem relasional antara aspek substansi bahasa tersebut yang merupakan suatu substansi-isi. Oleh karena itu teori bahasa modern membedakan kedua aspek tersebut dalam sistem lambang bahasa melayu (Mackey, 1984:23). Berlawanan dengan konsep bahasa modern, menurut paham tradisionalisme secara ontologis hakikat bahasa bukanlah substansi-isi. Menurut paham tradisonalisem bahwa ontologis pikiran menentukan sistem lambang bahasa, sehingga menurut tradisionalisme kata-kata memiliki kesepadanan dalam pikiran. Makna kata-kata atau ungkapan bahasa pada hakikatnya berasal dari konsep mental manusia yang menyeluruh, sehingga sistem bahasa ditentukan oleh sistem kaidah pikiran. Sehingga sistem ilmu bahasa logis mendasarkan pada analisis bahasa yang menekankan pada isi-substansi. Akibatnya deskripsi sistem bunyi ujaran bahasa tidak didasarkan pada struktur sistem bunyi ujaran secara empiris melainkan merupakan suatu pemaparan ejaan bahasa sehingga tidak mendasarkan pada analisis bahasa secara empiris. Walaupun telah berkembang ilmu bahasa modern yang ditandai oleh konsep bahasa menurut pandangan struktualisme, namun banyak paham-paham ilmu bahasa sampai abad XX masih mengangkat dasar-dasar tradisonalisme dalam sistem analisis bahasa. Hal ini dikarenakan sifat bahasa yang dinamis sehingga konsekuensinya sulit menghilangkan ciri tradisionalisme. D. Bahasa sebagai Bentuk Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu subtansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Demikian juga bahasa bukanlah merupakan suatu bunyi atau gerak ekspresi manusia melalui bunyi ujaran bahasa. Pemikiran ini dikembangkan oleh paham strukturalisme yang ekstrem antara lain strukturalisme bahasa yang berkembang di Amerika di bawah Bloomfield dan aliran glossematik yang sebenarnya keduanya berakar pada konsep pemikiran Ferdinand de Saussure. Walapun Saussure sebagai tokoh pelopr dan peletak dasar aliran strukturalisme pada ilmu bahasa modern, namun Saussure tidak hanya mendasarkan bahwa bahasa pada hakikatnya hanya sebagai bentuk saja. Saussure mengungkapkan konsepnya tentang bahasa juga mengakui tentang significant, yaitu bentuk ujaran lewat lambang, serta signifie yaitu semantic lambang yang menunjukkan pada acuannya. Oleh karena itu pengertian bahasa sebagai bentuk meliputi tiga hal yaitu: 1. Bentuk-isi yang meliputi klasifikasi tentang pikiran dan benda-benda. 2. Bentuk-ekspresi yaitu yang menyangkut tentang pengelompokan yang abstrak atau bayangan bunyi dan bentuk-bentuk bahasa. 3. Isi dan ekspresi yaitu meliputi pembentukan dari keduanya yaitu apa yang kita bicarakan dan bagaimana kita menbicarakannya. Ketiga hal yang berkaitan dengan dasar-dasar bentuk – isi bahasa tersebut sangat banyak memberikan warna pada teori-teori bahasa modern baik pada segi epistemologisnya maupun pada segi aksiologisnya yang pada gilirannya mendasari analisis bahasa. E. Bahasa sebagai Bentuk – Isi Konsep pemikiran ini mendasarkan pada suatu pengertian bahwa bahasa adalah sebagai bentuk simbolis yang berdiri sendiri. Bahasa menurut paham ini dianggap semata-mata sebagai hasil penyusunan pemikiran manusia. Menurut paham ini bahasa dipandangnya sebagai bentuk mental yang berdiri sendiri dan terpisah dari bentuk-bentuk simbolis yang lainnya seperti insting dan pikiran ilmiah. Teori ini lebih menekankan pada bentuk mental dan bukannya mendasarkan pada bentuk atau struktur bahasa dalam arti empiris yang dapat disentuh dengan indra manusia. Bahkan pemikiran ini lebih menekankan pada keterpisahan bentuk mental bahasa dari aspek-aspek yang lainnya. Oleh karena secara ontologis hubungan bentuk-isi itu lebih ditentukan oleh hakikat bahasa sebagai bentuk mental, maka unsur bentuk empiris bahasa yang berupa bunyi ujaran bahasa ditentukan oleh bentuk mental bahasa. Konsekuansinya struktur empiris bahasa yang berupa eksistensi bunyi ujaran bahasa tidak mendapat tempat, sehingga pengembangan pada teori-teori bahasa akan menghadapi kesulitan besar yaitu substansi empiris bahasa sulit dikembangkan secara sistematis. Pemikiran bahasa semacam ini sangat lemah dalam menentukan dasar epistemology teori bahasa, sehingga analisis bahasa juga akan menghadapi kesulitan dalam menentukan justifikasi kebenaran sebagai dasar pijak teori bahasa. Pemikiran ini antara lain dikembangkan oleh Cassirer, yang lebih menekankan fungsi kultural bahasa bagi manusia dan bukannya mengembangkan teori bahasa dalam membangun suatu ilmu bahasa yang kokoh. Cassier lebih menekankan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia untuk lebih mewujudkan hakikat manusia, agar menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Sehingga deskripsi Cassier lebih diarahkan pada fungsi bahasa dalam seni sastra, dan budaya untuk mengungkap nilai-nilai kemanusiaan (Mickey, 1965:12). F. Bahasa sebagai Bentuk – Ekspresi Hakikat bahasa yang menekankan pada segi bentuk-ekspresi ini lazimnya dikembangkan oleh kalangan penganut strukturlisme yang radikal, dalam arti mereka ingin membangun bahasa di atas substansi yang bersifat empiris. Konsekuensinya bahwa dasar-dasar teori bahasa secara ontologis berdasarkan realitas empiris dari bahasa, terutama adalah berkaitan dengan struktur empiris bahasa, yang merupakan sistem yang menyeluruh dan dapat berdiri sendiri. Pemikiran ini dikembangkan oleh seorang ahli dibidang ilmu bahasa dari Amerika yaitu Leonard Bloomfield. Ia memulai teorinya dengan mendasarkan pada pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah merupakan suatu realitas struktural empiris yang merupakan penuangan ekspresi manusia. Namun demikian menurut kalangan structural empiris bahwa hakikat structural empiris bahasa itu adalah berdiri sendiri terpisah dengan unsur-unsur lainnya. Konsekuensi pandangan ontologis ini teori bahasa mendahulukan analisis structural empiris sebagai dasar epistemologis ilmu bahasa. Bahasa harus dapat dinyatakan secara sistematis dan empiris untuk menemukan suatu kebenaran yang objektif. Oleh karena bahasa secara structural harus dapat dinyatakan secara fisik mka analisis bunyi-bunyi ujaran bahasa menempati prioritas utama, karena bunyi-bunyi bahasa merupakan fenomena yang dapat diamati secara langsung. Bahasa pada hakikatnya terdiri atas urutan-urutan morfem yang juga terdiri atas urutan-urutan fonem, walaupin pada level yang berbeda. Menurut Bloomfield fonem-fonem itu dapat didefinisikan secara fisik (Alwasilah, 1985:47). Kaum strukturalis terutama Bloomfield dalam mengembangkan teorinya dia menyingkirkan unsur pikiran, mental, benda maupun nilai dari hakikat realitas bahasa. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa bahasa tidak memiliki hubungan dengan masalah-masalah ilmu jiwa, fisiologi maupun aksiologi. Bahasa pada hakikatnya adalah “bentuk-isi”, hal ini berarti bahwa realitas bahasa adalah struktur empiris yang dapat diamati oleh indra manusia, baru struktur menentukan makna bahasa yang merupakan ekspresi. Arti menurut kaum strukturalis tidak dapat dianalisis haruslah merupakan suatu kebenaran yang mempunyai pengertian (makna), adapun kebenaran digunakan dalam arti pragmatis. Kaum strukturalis melakukan analisis bahasa berdasarkan strukturnya (bentuknya) dan bukan berdasarkan arti. Oleh karena itu, menurut kaum strukturalis yang mendasarkan hakikat bahasa atas bentuk ekspresi, memisahkan masalah semantic atau arti yang terkandung dalam bahasa pada bidang-bidang ilmu lain seperti antropologi, masalah struktur mental kepada psikologi, masal fonetik pada fisika dan bidang ilmu lainnya seperti filsafat dan logika. Akan tetapi sebagaimana dipahami bahwa bidang-bidang ilmu tersebut tidak memberikan tempat atau caban yang berkaitan dengan objek material bahasa sehingga mau tidak mau linguistic harus memberikan tempat untuk mengembangkannya, karean ilmu harus mampu memberikan jawaban-jawaban atas masalah-masalah yang berkaitan dengan bahasa (Mackey, 1965:25). Kompetensi ilmu untuk mengembangkan bidangnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar pada makna bahasa kemudian timbullah berbagi macam ilmu antardisipliner dengan bahasa, antara lain dengan psikologi berkembanglah Psikolinguistik, dengan filsafat berkembanglah filsafat bahasa, dengan sosiologi maka berkembanglah sosiolinguistik dan banyak bidang-bidang lainnya yang kemudisn berkembang bersama dengan ilmu bahasa. Teori lain yang menentukan hakikat bahasa adalah bentuk ekspresi adalah teori Carnap tentang sintaksis logis. Jika strukturalisme terutama Bloomfield membahas bentuk ucapan bahasa ilmiah, maka Carnap membicarakan bentuk bahasa tulis dari segala bahasa, terutama bahasa isoteris yang digunakan oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan terutama logika dan matematika demi pengembangan ilmu dalam bidangnya masing-masing. Berdasarkan pemikiran bahwa bahasa sebagai bentuk-ekspresi yang ketat dengan hukum-hukum logika maka tidak mengehrankan jikalau teori tersebut kurang mendapat sambutan yang positif di kalangan ahli ilmu bahasa. G. Bahasa sebagai Isi dan Ekspresi Berdasarkan pemikiran hakikat bahasa yang merupakan isi dan ekspresi, maka aliran yang mendasarkan pada pandangan ontologis tersebut berakar pada linguistik structural Saussure, walaupun kemudian berkembang menjadi berbagai macam aliran yang mendasarkan hakikat isi dan ekspresi pada bahasa. Sebagaimana diketahui konsep linguistik structural Saussure membedakan atas kode atau system (langue) dari pemakaian dalam pembicaraan (parole). Menurut Sausssure objek linguistic adalah studi tentang kode (langue) yang sesungguhnya merupakan aspek yang meliputi “yang ditandai” (signified) dan “penanda” (signifier), dan bukannya substansi. Bentuk pikiran dan bentuk bunyi tidak berhubungan dengan linguistic. Bahasa (langue) tidak terdiri atas ide ataupun bunyi, melainkan perbedaan-perbedaan konsep dan suara. Substansi isi dan substansi ekspresi betul-betul bersifat arbitrer, demikian juga antara keadaan yang sesungguhnya atau gambaran kita tentang keadaan tersebut, dan syarat-syarat atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk membicarakan keadaan tersebut. Suatu kekhususan pada teori Saussure adalah peleburan dari konsep linguistic yang ditandai (signified) dengan bayangan akustik dari bunyi yaitu penanda (signifier). Signified tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan oleh bahasa dari peristiwa-peristiwa tentang keadaan yang sesungguhnya. Signifier meliputi bayangan akustik dari bunyi bahasanya. Tidak satupun dari signified maupun signifier yang meliputi sifat-sifat seperti halnya dimiliki oleh bunyi ucapan atau suatu kejdian. Suatu hal yang relevan antara signified dan signifier adalah adanya kenyataan bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikacaukan oleh tanda yang lain. Keistimewaan suatu tanda adalah apa yang ada pada tanda itu tidak terdapat pada tanda yang lain. Perbedaan-perbedaan pada tanda inilah yang merupakan objek material pembahasan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hamper seluruhnya terbentuk dari perbedaan-perbedaan itu. Satu-satunya kenyataan positif adalah adanya gabungan dari perbedaan-perbedaan tersebut dan hal itu merupakan kenyataan satu-satunya yang terdapat dalam bahasa. Nilai apapun yang dimiliki oleh suatu tanda terletak pada perbedaan terhadap tanda-tanda yang lain (Saussure. 1916:73-80). Walaupun teori ini tampaknya lebih komperhensif dibandingkan teori Bloomfield, namun keduanya memiliki suatu persamaan yaitu keduanya memiliki pandangan ontologis yang sama. Kedua teori tersebut menganggap bahwa bahasa pada hakikatnya bukanlah suatu substansi, selain itu keduanya juga mencari perbedaan-perbedaan formal yang merupakan ciri utama suatu bahasa. Bloomfield menyatakan dengan tegas bahwa masing-masing fonem berbeda dari fonem yang lain. Kesamaan-kesamaan tersebut dapat dipahami karean kedua paham tersebut berakar dari suatu pandangan filosofis yang sama yaitu strukturalisme. Baik Saussure maupun Bloomfield memiliki kesamaan pendirrian bahwa pola penyusunan bahasa bersifat arbiter. Perbedaan pokok kedua teori tersebut adalah tentang letak isi bahasa, Bloomfield meletakkannya di luar bidang linguistic, karena arti hanya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang objek materialnya tentang sesuatu yang belum diketahui. Menurut Saussure ekspresi tidak mungkin untuk dianalisis terpisah tanpa memperhatikan isinya. Isi bahasa tidak mungkin dipisahkan dengan ekspresi bahasa karena linguistic mempelajari keduanya. Suatu teori yang berakar pada pemikiran Saussure adalah paham glossematik. Sasaran pembahasan paham glossmatik adalah studi tentang bentuk, sedangkan ilmu yang lain mengenai substansi itu sendiri. Paham ini menganggap bahwa bahasa pada hakikatnya sebagai bentuk, bukan sebagai substansi yang terdiri atas benda-benda lain yang merupakan acuan makna bahasa tetapi terdiri atas hubungan-hubungan. Jadi menurut glossematik bahwa bahasa dapat dinyatakan adanya hubungan-hubungan antara unit-unit yang relevan, sehingga tidak termasuk di dalamnya sesuatu yang menyangkut substansi unit-unit tadi. Bunyi yang sesungguhya yaitu ekspresi-substansi dan benda-benda yang merupakan acuannya yaitu substansi-isi tidak selaras dengan system bahasa dan bisa ditukar dengan mengubah bahasa. Berbeda dengan teori Bloomfield teori glossematik meliputi studi tentang bentuk pada kedua arah ekspresi-isi dan menekankaan pada hubungan di antara keduanya (Mackeyy. 1965:28). H. Bahasa sebagai Substansi dan Bentuk Sejumlah aliran dalam filsafat bahasa mengemukakan pandangan-pandangan ontologisnya tentang hakikat bahasa. Cassirer misalnya menyatakan bahwa manusia adalah makhluk simbolis, makhluk yang senantiasa menggunakan simbol-simbol, maka ia tiba pada suatu pandangan ontologisnya bahwa bahasa pada hakikatnya adalah merupakan brntuk simbol-simbol yang merupakan hasil penyusunan pikiran manusia. Bahasa adalah merupakan suatu bentuk mental yang berdiri sendiri terpisah dari bentuk simbol-simbol yang lain. Dengan demikian pandangan filosofis semacam ini tidak memberikan tempat bagi hakikat empiris bahasa yang berupa sistem bunyi ujaran yang dapat diserap dengan indra manusia. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Bloomfield berpendapat bahwa hakikat bahasa secara ontologis merupakan realitas empiris. Bahasa merupakan system symbol yang bersifat empiris yang bediri sendiri terpisah dari aspek-aspek non empiris. Bahasa memiliki suatu keterampilan yang secara empiris dapat ditentukan kebenarannya berdasarkan analisisnya yang bersifat empiris. Kaum strukturalisme tidak mengakui realitas metafisis bahasaa. Makna ditentukan oleh struktur empiris seperti benda-benda, alam semesta, konsep-konsep maupun nilainyang berada di luar struktur empiris bahasa. Secara epistemologis hakikat makna yan menyangkut realitas dunia yang berada di luar realitas struktur bahasa merupakan bidang kajian ilmu-ilmu pengetahuan yang lainnya dan tidak memilii sangkut paut dengan ilmu bahasa. Pandangan filsafat yang lain di bidang bahasa memiliki konsep yang berbeda dengan kedua paham di atas. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu substansi, baik substansi yang bersifat empiris misalnya bahasa pada hakikatnya tersusun atas sesuatu yang dapat diindra. Dalam pengertian ini substansi bahasa berkaitan dengan dua aspek yaitu substansi benda-benda, atau realitas dunia empiris dan susbtansi system lambang yang digunakan untuk mengungkapkan bahasa, yaitu suara yang kita ucapkan atau lambang-lambang yang kita gunakan. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut maka terdapat dua kelompok paham secara filosofis berbeda yaitu hakikat bahasa yang hanya dipandang sebagai substansi saja dan hakikat bahasa yang hanya dipandang sebagai bentuk atau struktur saja. Kedua pandangan tersebut dengan sendirinya memiliki konsekuensi epistemologis yang berbeda pula, dan pada gilirannya system analisis dan dasar kebenaran dalam ilmu bahasa juga akan berbeda, sesuai dengan pandangan ontologis masing-masing. Sementara terdapat dua kelompok paham dalam filsafat bahasa yang memiliki pandangan ontologis yang berlawanan terhadap sejumlah teori yang mendasarkan pada pandangan ontologis yang merupakan sintesa antara substansi dan bentuk. Bahasa pada hakikatnya bukan hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. Hal ini dapat dianalisiss dalam tiga aspek substansi dan bentuk bahasa: 1. Substansi isi bahasa yaitu berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut tentang benda dan pengalaman tentang benda-benda tersebut serta pikiran-pikiran dari penutur bahasa. 2. Substansi ekspresi bahasa yaitu yang kita gunakan untuk membicarakan pikiran dan hal-hal yang kita bicarakan seperti benda-benda seta pengalaman tentang benda-benda tersebut. 3. Substansi isi dan ekspresi yaitu apa yang dibicarakan dan alat-alat yang digunakan untuk membicarakan tersebut. BAB III PENUTUP A. Simpulan Menurut teori bahasa modern bahwa substansi bahasa dapat dianggap tersusun dari unsur yang bersifat empiris yaitu yang berupa bunyi ujaran, sehingga dapat diindera manusia, dapat didengar dan dipikirkan. Berdasarkan hakikat bahasa yang secara ontologis adalah merupakan suatu sistem tanda yang mengacu pada sesuatu benda, konsep atau nilai maka pengertian substansi bahasa ini juga harus dibedakan antara (1) substansi bahasa sebagai sistem tanda, yang kuantitasnya berupa sistem bunyi, tanda ataupun lambang-lambang. (2) substansi bahasa yang merupakan acuan dari bahasa, atau suatu substansi bahasa yang merupakan petanda, yaitu substansi benda-benda, konsep-konsep atau nilai-nilai yang merupakan petanda bahasa. Teori-teori kebahasaan yang terkenal pada abad XX banyak yang mendasarkan pada suatu pandangan ontologis bahwa bahasa pada hakikatnya adalah bukan merupakan suatu struktur substansi, namun bahasa adalah merupakan suatu struktur yang dapat diamati secara empiris. Ungkapan lain tentang pengertian itu adalah bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu subtansi sendiri melainkan merupakan suatu bentuk. Bahasa tidak dapat disamakan dengan pikiran atau benda-benda atau segala realitas dunia. Bahasa pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan substansi saja atau hanya berupa struktur atau bentuk empiris belaka namun bahasa pada hakikatnya adalah substansi dan bentuk. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa. Hidayat, Asaep Ahmad. 2009.Filsafat Bahasa Mengungkapkan Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Kaelan. 2013. Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma.

2 komentar:

  1. mohon maaf mbk, sebaiknya tulisannya menggunakan Times new Roman 12, supaya yang baca matanya tidak jenuh. dan jangan di blot iya mbk...terima kasih...

    BalasHapus
  2. Mohon maaf ka klu boleh tulisan nya di perbaiki dan ini tulisan nya kesambung semuanya 🙏 tolong di perbaiki supaya kami bisa membacanya dengan baik 🙏

    BalasHapus