BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Auguste Comte atau yang sering
disebut sebagai bapak sosiologi merupakan salah satu pencetus teori sosiologi
klasik. Comte dijuluki sebagai bapak sosiologi karena dia adalah orang pertama
yang mencetuskan sosiologi atau yang dulu disebut sebagai fisika sosial. Di
mana menurutnya, sosiologi harus dikaji secara ilmiah.
Comte merupakan salah satu
penganut hukum positivisme. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan
bagian dari alam, di mana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan
untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis.
Bagi Comte untuk menciptakan
masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat
digugat. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan
gagasan-gagasan. Untuk itu, kami akan membahas tentang data positif empiris
Aguste Comte yang dimuat dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana data postif empiris
Aguste Comte?
2.
Bagaimana hokum tiga tahap Aguste
Comte?
3.
Bagaimana logika induksi John
s.Mill?
4.
Apa saja pembagian logika induksi
John s.Mill?
5.
Bagaimana logika induksi menurut
perspektif Islam?
1
|
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui data positif empiris Aguste Comte.
2. Untuk
mengetahui hokum tiga tahap Aguste Comte.
3. Untuk
mengetahui logika induksi John s.Mill.
4. Untuk
mengetahui pembagian logika induksi John s.Mill.
5. Untuk
mwngwtahui logika induksi menurut perspektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Data Postif Empiris Aguste Comte
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint
Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk
memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang
menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga
merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode
feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang
mendasari masyarakat industry).
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya The Course
of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang
semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini
diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud
adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan
gejala-gejala.[1]
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan
metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini
mempunyai 4 ciri, yaitu :
3
|
1.
Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta
2.
Metode
ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3.
Metode
ini berusaha ke arah kepastian
4.
Metode
ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai
sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode
historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi
metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.[2]
B.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang
memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu
dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya
bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat
digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik
untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.[3]
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan
organis yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling
tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode
penelitian empiris. Sehingga dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan
suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa
juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana
dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan
tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode
kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans secara terlibat ataupun
tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu
Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan
yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte merumuskan
perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah
manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu
Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif,
meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya
sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang
mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa
mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya
Khatolisisme.
2. Tahap
Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif.
Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan dalam akal budi.
3. Tahap
Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan
terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak
mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka
secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan
menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris
akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat
uniformitas.[4]
Comte mengatakan bahwa disetiap
tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada
keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan
pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain suatu masyarakat dikatakan
telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya
telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat
untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan,
dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa
nasionalisme atau kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam
tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat
industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada
kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin
terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).
B. John Stuart Mill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei
1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah
seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari
utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan
akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari
ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20
tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika.[5]Satu-satunya
sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu Induksi
mewujudkan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya, yang menuju kepada
pengenalan.
Menurut Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang
menjadi asas bagi filsafat. Di sini, pandangannya berbeda dengan Comte. Tugas
psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem
indrawi manusia dan hubungan-hubungannya. Mill berpendapat bahwa satu-satunya
sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi
menjadi jalan kepada pengenalan.
Di dalam etika, Mill melihat hubungan timbal-balik antara manusia
secara pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip utilitarianisme. Dengan
demikian, tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi
dirinya sendiri secara psikologis, bukan orang lain atau nilai-nilai. Dia
adalah seorang pendukung Utilitarianisme, sebuah teori etika yang dikembangkan
oleh filsuf Jeremy Bentham.
C. Logika Induksi
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan.
Pengetahuan khusus ini dapat juga tercapai berulangkali dan kemudian dijadikan
landasan oleh manusia untuk pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga
berlaku umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang umum
itu disebut Induksi.
Secara sederhana, logika induksi merupakan logika yang digunakan
untuk sampai pada pernyataan yang universal dari hal-hal yang bersifat
individual. Kesimpulan ditarik dari hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan
yang bersifat umum. Tidak seperti logika deduktif, dalam logika induksi, kerja
akal atau fikiran beranjak dari pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus
sejenis yang bersifat spesifik, khusus, individual, dan nyata yang ditemukan
oleh pengalaman inderawi kita. Ia berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari
berbagai kenyataan tersebut disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih
umum. Jadi, generalisasi dalam logika induksi ini selalu berdasar pada hal-hal
yang empiris.[6]
D.
Pembagian Logika Induksi
Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang
sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan
penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun
sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses
dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif
menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada
dua macam :
a. Induksi Sempurna
Jika putusan umum itu merupakan penjumlahan dari putusan khusus.
Maka Induksi itu sempurna. Misalnya : dari masing-masing mahasiswa pada suatu
fakultas, diketahui bahwa ia warga negara Indonesia. Maka dapat diadakan
putusan umum : semua mahasiswa fakultas itu warga negara Indonesia.
b. Induksi Tidak
Sempurna
Jika demi Induksi ada putusan umum
yang bukan merupakan penjumlahan, melainkan seakan-akan loncatan dari yang
khusus kepada yang umum, itulah induksi tidak sempurna.
Induksi tidak sempurna ini ada dua lagi macamnya demi sifat yang
dimilikinya dalam kekuatan putusan yang ternyata :
1. Dalam ilmu alam
putusan yang tercapai melalui Induksi tidak sempurna ini berlaku umum, mutlak
jadi tidak ada kecualinya. Hukum air mengenai pembekuannya tak mengizinkan
pengecualiannya. Tidak ragu-ragu ilmu berani mengamalkan tentang pembekuan air
itu. Begitulah mengenai lain-lain hukum alam. Kalau sudah diketahui dengan
pasti bahwa itu hukum alam, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu berlaku
dengan pasti. Hukunm alam boleh dikatakan berlaku umum mutlak. Hal yang
demikian itu secara filsafat menimbulkan kesulitan, paling sedikit timbullah
persoalan : bagaimana orang dapat memastikan bahwa putusan yang diperoleh
secara induktif itu sungguh umum, sedangkan pengalamannya hanya berlaku khusus.
2. Jika ilmu mempunyai
objek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia yang sedikit-banyaknya
dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi pandangan ilmu, maka lalu
lain pula halnya. Ilmunya kami sebut ilmu sosial serta objek penyelidikannya
mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia. Oleh karena manusia mempunyai daya memilih
dan sebab itu mungkin bertindak atau tidak bertindak, malahan mungkin juga
bertindak lain dan tidak dapat dipastikan sebelumnya. Ada juga semacam hukum
terdapat pada tindakan-tindakan manusia, tetapi tidaklah mutlak umum. Selalu
ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian. Kalau pada prinsipnya hukum alam
tidak ada kekecualiannya, hukum-hukum pada ilmu sosial selalu ada kemungkinan
kekecualiannya.
Cara befikir dalam logika induksi adalah melalui analogi, yaitu
persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
Dalam analogi kita mempersamakan dua hal yang sebenarnya tidak sama persis.
Analogi membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada
beberapa segi dan menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain.
Memang terdapat kritikan terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang
disebut kebenaran umum (general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat
dari hasil penyelidikan atau metode berpikir induksi.[7]
E.
Logika Indiksi menurut perspektif Islam
Logika sains meniscayakan dialektika
induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi
digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji
kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun
teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini
demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang
serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan sosial. Mungkin karena itulah di dalam wacana pemikiran
hukum Islam, induksi jarang sekali dibicarakan, sementara deduksilah yang
mendominasi pembahasan. Tulisan ini memuat bagaimana deduksi dan induksi
bergantian memainkan peranan masing-masing sehingga berkembanglah pemikiran
hukum Islam. Tulisan ini menyimpulkan bahwa induksi menghasilkan
rumusan-rumusan yang digunakan sebagai landasan deduksi di dalam berbagai
tahapan proses penalaran hukum. Induksi lengkap digunakan untuk memastikan teks
sumber hukum ilahiyah (wahyu), sedangkan deduksi yang tidak lengkap digunakan
untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk menghadapi kasus
yang tidak diliput oleh sumber hukum wahyu. Induksi
tidak lengkap ini menghasilkan rumusan Al-qawa’id
Al-fiqhiyah yang fungsinya
adalah sebagai landasan deduksi bagi fiqh baru yang memiliki watak yang
sama dengan fiqh yang sudah ada.[8]
Dalam agama Islam, hukum didefinisikan
sebagai hukum Tuhan. Tuhan memberikan wahyu berupa Al-Qur’an dan Sunnah (hadis)
dengan cara deduktif. Dari kedua sumber itu dihasilkan fiqh atau biasa disebut dengan Hukum Islam.
Artinya, pedoman tingkah laku manusia diambilkan dari firman Tuhan, dan hal itu
meniscayakan penggunaan deduksi. Walaupun seperti itulah posisi paradigmatis di
dalam Islam, tetapi bukan berarti induksi kehilangan tempat berperan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dipastikan mengandalkan dialektika antara deduksi
dan induksi. Dalam hal ini, perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum Islam
bukanlah perkecualian.
Jarangnya pembahasan tentang peranan induksi
dengan jelas bisa ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di dalam literatur ushul al-fiqh, kata istiqra’ sebagai cara menemukan hukum tidak
dikenal. Metode istiqra’ tidak termasuk dalam sebelas adillah shar’iyah atau sumber
dan metode hukum yang biasa dibahas. Istiqra’ dalam arti adillah hanya disebut sepintas di dalam
sedikit kitab kuno seperti Al-Ibhaj. Tampaknya sifat deduktif dari arus
utama pemikiran hukum Islam menyebakan perhatian hanya ditujukan kepada deduksi
saja. Dengan pendekatan ilmu logika, yang membagi induksi menjadi induksi
lengkap dan induksi tak-lengkap, tulisan ini akan mengisi kelangkaan bacaan
mengenai peranan induksi dalam pemikiran hukum Islam. Teori induksi digunakan
untuk melihat dan memaknai apa yang telah terjadi di dalam tradisi pemikiran
hukum Islam selama ini dan menunjukkan bagaimana penalaran deduktif hukum Islam
melibatkan induksi dalam berbagai tingkat kebutuhan secara signifikan. Induksi
berperan dalam dua tugas yang bertolak belakang, yaitu pembakuan sekaligus
pengembangan dalam tradisi pemikiran hukum Islam.[9]
PENUTUP
A.Simpulan
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan
gagasan-gagasan.
Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner
menjadi 3 kelompok yaitu :
1.
Tahap
Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam
periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk
pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa
semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
2.
Tahap
Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif.
Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang
dapat ditemukan dalam akal budi.
3.
Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan
data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi
pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa
semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data
baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya
telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi.
Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling
melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian.
Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika
induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada dua macam :
A.
Induksi
Sempurna
B.
11
|
Logika sains meniscayakan dialektika
induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi
digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji
kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun
teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini
demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang
serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme
Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Beerling Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 1986.
Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir Jakarata: Rineka
Cipta, 1992.
P. Hardono, Hadi, Epistemologi:
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Mehra,
Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar
Logika Tradisiona, Bandung: Binacipta, 1988.
[1] Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat
Modern tentang Filsafat Sejarah., Gramedia Pustaka Utama,, Jakarta, 1987,
hal. 101.
[3] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 , Kanisius,Yogyakarta, 2002,
hal. 110.
[4] Koento
Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hal. 11.
[5]
Beerling
Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilm, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986, hal. 53.
[6] Poedjawijatna,
Logoka Filsafat Berfikir Rineka Cipta, Jakarata, 1992, hal. 70.
[7] Ibid.,
hal. 71.
[9]
Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisiona,.Binacipta, Bandung, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar