Senin, 05 Mei 2014

Data Positif Empiris dan Logika Induksi


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang masalah
Auguste Comte atau yang sering disebut sebagai bapak sosiologi merupakan salah satu pencetus teori sosiologi klasik. Comte dijuluki sebagai bapak sosiologi karena dia adalah orang pertama yang mencetuskan sosiologi atau yang dulu disebut sebagai fisika sosial. Di mana menurutnya, sosiologi harus dikaji secara ilmiah.
Comte merupakan salah satu penganut hukum positivisme. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, di mana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Untuk itu, kami akan membahas tentang data positif empiris Aguste Comte yang dimuat dalam makalah ini.

B.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana data postif empiris Aguste Comte?
2.      Bagaimana hokum tiga tahap Aguste Comte?
3.      Bagaimana logika induksi John s.Mill?
4.      Apa saja pembagian logika induksi John s.Mill?
5.      Bagaimana logika induksi menurut perspektif Islam?


   1
                                             



C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui data positif empiris Aguste Comte.
2.      Untuk mengetahui hokum tiga tahap Aguste Comte.
3.      Untuk mengetahui logika induksi John s.Mill.
4.      Untuk mengetahui pembagian logika induksi John s.Mill.
5.      Untuk mwngwtahui logika induksi menurut perspektif Islam.
           




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Data Postif Empiris Aguste Comte
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industry).
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya The Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala.[1]
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
 3
 
1.      Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2.      Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3.      Metode ini berusaha ke arah kepastian
4.      Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.[2]

B.     Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam. Masyarakat positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.[3]
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai suatu keseluruhan organis yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung dan untuk mengerti kenyataan ini harus dilakukan suatu metode penelitian empiris. Sehingga dapat meyakinkan kita bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini peneliti mengadakan suatu pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa dilakukans secara terlibat ataupun tidak dan metode ini memang sulit untuk dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode diatas Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
                                                                                                                                          
1. Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
2. Tahap Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.[4]
Comte mengatakan bahwa disetiap tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain suatu masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme atau kebangsaan) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini).
B.    John Stuart Mill
John Stuart Mill (lahir di Pentonville, London, Inggris, 20 Mei 1806 – meninggal di Avignon, Perancis, 8 Mei 1873 pada umur 66 tahun) adalah seorang filsuf empiris dari Inggris. Ia juga dikenal sebagai reformator dari utilitarianisme sosial. Ayahnya, James Mill, adalah seorang sejarawan dan akademisi. Ia mempelajari psikologi, yang merupakan inti filsafat Mill, dari ayahnya. Sejak kecil, ia mempelajari bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pada usia 20 tahun, ia pergi ke Perancis untuk mempelajari bahasa, kimia, dan matematika.[5]Satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu Induksi mewujudkan satu-satunya jalan yang dapat dipercaya, yang menuju kepada pengenalan.
Menurut Mill, psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan dasar yang menjadi asas bagi filsafat. Di sini, pandangannya berbeda dengan Comte. Tugas psikologi adalah menyelidiki apa yang disajikan oleh kesadaran, artinya sistem indrawi manusia dan hubungan-hubungannya. Mill berpendapat bahwa satu-satunya sumber bagi segala pengenalan adalah pengalaman. Oleh karena itu, induksi menjadi jalan kepada pengenalan.
Di dalam etika, Mill melihat hubungan timbal-balik antara manusia secara pribadi dengan masyarakat atas dasar prinsip utilitarianisme. Dengan demikian, tindakan yang dilakukan oleh manusia bertujuan membawa kepuasan bagi dirinya sendiri secara psikologis, bukan orang lain atau nilai-nilai. Dia adalah seorang pendukung Utilitarianisme, sebuah teori etika yang dikembangkan oleh filsuf Jeremy Bentham.

C.    Logika Induksi
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan. Pengetahuan khusus ini dapat juga tercapai berulangkali dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlaku umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang umum itu disebut Induksi.
Secara sederhana, logika induksi merupakan logika yang digunakan untuk sampai pada pernyataan yang universal dari hal-hal yang bersifat individual. Kesimpulan ditarik dari hal-hal yang khusus untuk menuju kesimpulan yang bersifat umum. Tidak seperti logika deduktif, dalam logika induksi, kerja akal atau fikiran beranjak dari pengetahuan sebelumnya mengenai sejumlah kasus sejenis yang bersifat spesifik, khusus, individual, dan nyata yang ditemukan oleh pengalaman inderawi kita. Ia berangkat dari sesuatu yang riel, lalu dari berbagai kenyataan tersebut disimpulkan pengetahuan baru yang bersifat lebih umum. Jadi, generalisasi dalam logika induksi ini selalu berdasar pada hal-hal yang empiris.[6]
D.    Pembagian Logika Induksi
            Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada dua macam :
a.       Induksi Sempurna
Jika putusan umum itu merupakan penjumlahan dari putusan khusus. Maka Induksi itu sempurna. Misalnya : dari masing-masing mahasiswa pada suatu fakultas, diketahui bahwa ia warga negara Indonesia. Maka dapat diadakan putusan umum : semua mahasiswa fakultas itu warga negara Indonesia.
b.      Induksi Tidak Sempurna
Jika demi Induksi ada putusan umum yang bukan merupakan penjumlahan, melainkan seakan-akan loncatan dari yang khusus kepada yang umum, itulah induksi tidak sempurna.
Induksi tidak sempurna ini ada dua lagi macamnya demi sifat yang dimilikinya dalam kekuatan putusan yang ternyata :
1.      Dalam ilmu alam putusan yang tercapai melalui Induksi tidak sempurna ini berlaku umum, mutlak jadi tidak ada kecualinya. Hukum air mengenai pembekuannya tak mengizinkan pengecualiannya. Tidak ragu-ragu ilmu berani mengamalkan tentang pembekuan air itu. Begitulah mengenai lain-lain hukum alam. Kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa itu hukum alam, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu berlaku dengan pasti. Hukunm alam boleh dikatakan berlaku umum mutlak. Hal yang demikian itu secara filsafat menimbulkan kesulitan, paling sedikit timbullah persoalan : bagaimana orang dapat memastikan bahwa putusan yang diperoleh secara induktif itu sungguh umum, sedangkan pengalamannya hanya berlaku khusus.
2.      Jika ilmu mempunyai objek yang terjadinya bisa kena pengaruh dari manusia yang sedikit-banyaknya dapat ikut menentukan kejadian-kejadian yang menjadi pandangan ilmu, maka lalu lain pula halnya. Ilmunya kami sebut ilmu sosial serta objek penyelidikannya mungkin terpengaruhi oleh kehendak manusia. Oleh karena manusia mempunyai daya memilih dan sebab itu mungkin bertindak atau tidak bertindak, malahan mungkin juga bertindak lain dan tidak dapat dipastikan sebelumnya. Ada juga semacam hukum terdapat pada tindakan-tindakan manusia, tetapi tidaklah mutlak umum. Selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian. Kalau pada prinsipnya hukum alam tidak ada kekecualiannya, hukum-hukum pada ilmu sosial selalu ada kemungkinan kekecualiannya.
Cara befikir dalam logika induksi adalah melalui analogi, yaitu persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Dalam analogi kita mempersamakan dua hal yang sebenarnya tidak sama persis. Analogi membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan tertentu pada beberapa segi dan menyimpulkan keduanya memiliki kesamaan dalam segi yang lain. Memang terdapat kritikan terhadap metode ilmiah ini, khususnya pada apa yang disebut kebenaran umum (general truth), yaitu kesimpulan umum yang terdapat dari hasil penyelidikan atau metode berpikir induksi.[7]

E.     Logika Indiksi menurut perspektif Islam
 Logika sains meniscayakan dialektika induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Mungkin karena itulah di dalam wacana pemikiran hukum Islam, induksi jarang sekali dibicarakan, sementara deduksilah yang mendominasi pembahasan. Tulisan ini memuat bagaimana deduksi dan induksi bergantian memainkan peranan masing-masing sehingga berkembanglah pemikiran hukum Islam. Tulisan ini menyimpulkan bahwa induksi menghasilkan rumusan-rumusan yang digunakan sebagai landasan deduksi di dalam berbagai tahapan proses penalaran hukum. Induksi lengkap digunakan untuk memastikan teks sumber hukum ilahiyah (wahyu), sedangkan deduksi yang tidak lengkap digunakan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk menghadapi kasus yang tidak diliput oleh sumber hukum wahyu. Induksi tidak lengkap ini menghasilkan rumusan Al-qawa’id Al-fiqhiyah yang fungsinya adalah sebagai landasan deduksi bagi fiqh  baru yang memiliki watak yang sama dengan fiqh yang sudah ada.[8]
Dalam agama Islam, hukum didefinisikan sebagai hukum Tuhan. Tuhan memberikan wahyu berupa Al-Qur’an dan Sunnah (hadis) dengan cara deduktif. Dari kedua sumber itu dihasilkan fiqh atau biasa disebut dengan Hukum Islam. Artinya, pedoman tingkah laku manusia diambilkan dari firman Tuhan, dan hal itu meniscayakan penggunaan deduksi. Walaupun seperti itulah posisi paradigmatis di dalam Islam, tetapi bukan berarti induksi kehilangan tempat berperan. Perkembangan ilmu pengetahuan dipastikan mengandalkan dialektika antara deduksi dan induksi. Dalam hal ini, perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum Islam bukanlah perkecualian.
Jarangnya pembahasan tentang peranan induksi dengan jelas bisa ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di dalam literatur ushul al-fiqh, kata istiqra’ sebagai cara menemukan hukum tidak dikenal. Metode istiqra’ tidak termasuk dalam sebelas adillah shar’iyah atau sumber dan metode hukum yang biasa dibahas. Istiqra’ dalam arti adillah hanya disebut sepintas di dalam sedikit kitab kuno seperti Al-Ibhaj. Tampaknya sifat deduktif dari arus utama pemikiran hukum Islam menyebakan perhatian hanya ditujukan kepada deduksi saja. Dengan pendekatan ilmu logika, yang membagi induksi menjadi induksi lengkap dan induksi tak-lengkap, tulisan ini akan mengisi kelangkaan bacaan mengenai peranan induksi dalam pemikiran hukum Islam. Teori induksi digunakan untuk melihat dan memaknai apa yang telah terjadi di dalam tradisi pemikiran hukum Islam selama ini dan menunjukkan bagaimana penalaran deduktif hukum Islam melibatkan induksi dalam berbagai tingkat kebutuhan secara signifikan. Induksi berperan dalam dua tugas yang bertolak belakang, yaitu pembakuan sekaligus pengembangan dalam tradisi pemikiran hukum Islam.[9]







PENUTUP
A.Simpulan   
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan.
Comte merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu :
1.      Tahap Teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri.
2.      Tahap Metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam akal budi.
3.       Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Logika induksi adalah sebuah proses penalaran yang sesungguhnya telah dilakukan manusia semenjak dahulu, bersama-sama dengan penalaran deduksi. Keduanya memiliki perbedaan logika penalaran, namun sesungguhnya saling melengkapi. Dalam pengembangan keilmuan, kedua proses dijalankan secara bergantian. Secara tidak langsung prinsip berfikir deduktif menyumbang kepada kerja logika induksi, demikian pula sebaliknya. Induksi ada dua macam :
A.    Induksi Sempurna
B.    
11
Induksi Tidak Sempurna
Logika sains meniscayakan dialektika induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.
















DAFTAR PUSTAKA

 Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Beerling Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986.
Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir Jakarata: Rineka Cipta, 1992.

P. Hardono, Hadi,  Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,  Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisiona, Bandung: Binacipta, 1988.






[1] Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah., Gramedia Pustaka Utama,, Jakarta, 1987, hal. 101.

[2] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 58.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 , Kanisius,Yogyakarta,  2002,  hal. 110.
[4] Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hal. 11.

[5] Beerling Kwee dan Mooij Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilm, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986, hal. 53.
[6] Poedjawijatna, Logoka Filsafat Berfikir Rineka Cipta, Jakarata, 1992, hal. 70.
[7] Ibid., hal. 71.
[8]  P. Hardono, Hadi,  Epistemologi: Filsafat Pengetahuan,  Kanisius, Yogyakarta, 1994.
[9] Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisiona,.Binacipta, Bandung, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar